Marosnews.com – Putusan Mahkamah Konstitusi (MK) mengubah batas usia Calon Presiden (Capres) dan Calon Wakil Presiden (Cawapres) telah menimbulkan kontroversi di tengah masyarakat dan dunia politik.
Hal itu kemudian menuai banyak kritik di berbagai kalangan masyarakat, baik ahli maupun mahasiswa, tidak terkecuali LBH-PPMI.
Direktur LBH-PPMI, Ilham Tammam juga telah melayangkan mosi tidak percaya terhadap putusan MK tersebut.
Ilham menjabarkan 4 poin yang menjadi dasar kritik terhadap putusan MK yang mengubah frasa dalam pasal 169 huruf q UU Pemilu.
Berikut 4 poin kritik dilayangkan Direktur LBH-PPMI :
1. Mosi tidak percaya terhadap Ketua MK
Ilham Tammam menilai MK menunjukan inkonsistensi dalam mengadili permohonan yang sama.
Dia menjelaskan berdasarkan Putusan Nomor 29/PUU-XXI/2023, 51/PUU-XXI/2023 dan 55/PUU-XXI/2023, dimana dari ketiga putusan ini manyatakan bahwa permohonan yang diajukan ‘Ditolak Secara Keseluruhan’. Sehingga dengan salah satu pertimbangannya dalam konklusi pokok permohonan para pemohon tidak beralasan menurut hukum untuk seluruhnya.
Sedangkan dalam putusan Nomor 90/PUU-XXI/2023 yang pada pokok permohonannya sama dengan 3 pokok permohonan pemohon yaitu objek permohonan pada Pasal 169 huruf (q) UU Pemilu yang berbunyi: “Persyaratan menjadi Capres dan Cawapres adalah: … q. berusia paling rendah 40 (empat puluh) tahun,”. Dinyatakan mengabulkan permohonan untuk sebgaian, sepanjang tidak dimaknai “berusia paling rendah 40 (empat puluh) tahun atau pernah/sedang menduduki jabatan yang dipilih melalui pemilihan umum termasuk pemilihan kepala daerah”.
Sedangkan yang ditolak pada sidang sebelumnya, dalam pertimbangan hakim pada Putusan Nomor 51/PUU-XXI/2023, yang menyebutkan bahwa pokok permohonan pasal 169 huruf q ditambahkan frasa alternatif yaitu atau pernah menjabat sebagai penyelenggara negara yang dimana tidak jauh berbeda dengan putusan yang dikabulkan.
2. Adanya Conflict Interest Dalam Mahkamah Konstitusi
Dijelaskan Ilham bahwa dalam Putusan Nomor 29/PUU-XXI/2023, 51/PUU-XXI/2023, 55/PUU-XXI/2023, Ketua Hakim Mahkamah Konstitusi mundur dalam persidangan, dengan alasan bahwa menyadari adanya konflik kepentingan dengan relasi ‘kekeluargan’.
Sedangkan dalam Putusan Nomor 90/PUU-XXI/2023 Ketua Hakim Mahkamah Konstitusi hadir Kembali sehingga putusan Nomor 90/PUU-XXI/2023 berbeda dengan putusan sebelumnya yang dimana pada Putusan Nomor 90/PUU-XXI/2023 tidak menghilangkan relasi kepentingan kekeluargaan.
3. Open Legal Policy Dalam Mahkamah Konstitusi Tidak Netral
Terkait hal ini, Ilham menjelaskan bahwa putusan sidang Nomor 90/PUU-XXI/2023 merupakan repsentasi dari pemegang kekuasaan, dimana Ketua MK adalah paman dari Gibran, sementara pemohon merupakan penggemar dari Gibran dan dari pihak pemerintahan adalah ayah dari Gibran. Maka dalam penjabarannya kata dia, secara politik hukum dapat mempengaruhi hukum itu sendiri.
Dijelaskan bahwa dalam bentuk kebijakan hukum terbuka (open legal policy) pembentuk undang-undang memang adakalanya perlu dan bahkan harus dibatasi dalam rangka mewujudkan dan menjamin keberlangsungan prinsip supremasi konstitusi (supremacy of the Constitution).
Kewenangan pengaturan pembatasan usia untuk menjabat Presiden maupun Wakil Presiden atau penambahan frasa ‘atau berpengalaman sebagai kepala daerah’ (dalam petitum) tidak diatur dalam konstitusi dan karenanya merupakan kebijakan hukum yang terbuka pada pembentuk undang-undang (opened legal policy).
4. Mahkamah Konstitusi Melampaui Kewenangan
Pada poin ini, Ilham mengungkapkan bahwa dalam UUD NRI 1945 dan Pasal 56 dan Pasal 57 Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 jo Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2011 tentang Mahkamah Konstitusi, MK hanya diamanatkan sebagai negative legislator, sehingga ketika menguji Undang-Undang, MK hanya akan membuat keputusan yang menyatakan permohonan ditolak, tidak menerima, ataupun mengabulkan saja.
Mahkamah Konstitusi kata Ilham melanjutkan hanya mempunyai 4 (empat) kewenangan yang diatur dalam Pasal 24C ayat (1) dan satu kewajiban yang diatur dalam Pasal 24C ayat (2) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.
Kewenangan tersebut, yaitu: (1) menguji UU terhadap UUD; (2) memutus sengketa kewenangan lembaga negara yang kewenangannya diberikan oleh UUD; (3) memutuskan pembubaran partai politik; dan (4) memutus perselisihan tentang hasil pemilihan umum.
Ervan Prakasa yang juga sebagai Pengurus LBH-PPMI beranggapan bahwa Mahkamah Konstitusi (MK) terlalu politik dalam memutus permohonan ini, padahal MK dapat menghindari conflict interest ini dengan cara menunggu hingga waktu pendaftaran dan penetapan capres dan cawapres selesai, sehingga susupan isu politis dapat dihindari. (***)
Rls