Marosnews.com – Hukum memberi ucapan selamat Natal kepada umat Nasrani (kristiani) bagi umat Islam berbeda pandangan di kalangan ulama. Ada yang mengharamkan, ada pula yang membolehkan.
Tidak adanya dalil dari Al-Qur’an maupun As-Sunnah yang secara spesifik membahas terkait keharaman atau kebolehan mengucapkan selamat Natal membuat hal ini menjadi perdebatan di kalangan ulama.
Bagi mayoritas ulama dari empat mazhab (Maliki, Hanafi, Syafi’i dan Hambali) dengan tegas telah sepakat akan keharaman memberi ucapan selamat Natal kepada umat Nasrani. Sebaliknya bagi sebagian kalangan ulama kontemporer membolehkan memberikan ucapan selamat Natal masuk dalam kategori Ijtihadi.
Berikut dasar hukum pandangan ulama yang mengharamkan dan yang membolehkan ucapan selamat Natal sebagaimana disadur marosnews.com dari Direktorat Pendidikan dan Pembinaan Agama Islam (DPPAI) Universitas Islam Indonesia (UUI) di laman dppai.uii.ac.id.
Dasar Hukum yang Mengharamkan
Para ulama yang memilih sikap untuk mengharamkan ucapan selamat Natal bagi umat Nasrani mendasari hukumnya pada firman Allah subhanahu wa ta’ala di dalam surat al-Furqan ayat 72, “Dan orang-orang yang tidak memberikan persaksian palsu, dan apabila mereka bertemu dengan (orang-orang) yang mengerjakan perbuatan-perbuatan yang tidak berfaedah, mereka lalui (saja) dengan menjaga kehormatan dirinya.” (Q.S. al-Furqan [25]: 72)
Pada ayat tersebut, Allah subhanahu wa ta’ala menjanjikan bagi orang yang tidak memberikan kesaksian palsu dengan martabat yang tinggi di surga. Sedangkan, apabila seorang muslim mengucapkan selamat Natal berarti dia telah memberikan kesaksian palsu dan membenarkan keyakinan umat Nasrani tentang hari Natal (kelahiran Yesus Kristus, salah satu Tuhannya umat Nasrani). Konsekuensinya adalah ia tidak akan mendapatkan martabat yang tinggi di surga. Dengan demikian, mengucapkan selamat natal kepada umat kristiani tidak diperkenankan.
Selain itu, dalam hadits yang diriwayatkan oleh Ibnu ‘Umar radhiyallahu ‘anhuma Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Barangsiapa menyerupai suatu kaum maka dia termasuk bagian kaum tersebut.” (HR. Abu Daud, no. 4031).