“Tentunya kebijakan strategis yang penting bagi masyarakat mungkin tidak dapat berjalan dengan optimal, sehingga menimbulkan ketidakpastian dalam implementasi kebijakan’” paparnya.
“Ketidakpastian dalam pemerintahan juga dapat menyebabkan mitra eksternal, seperti lembaga swasta, pemerintah pusat, atau organisasi Masyarakat sipil, merasa ragu dalam menjalin kerja sama yang erat dengan pemerintahan daerah, karena dianggap tidak memiliki legitimasi yang kuat,” lanjutnya.
Lukman juga dijelaskan bahwa kepala daerah adalah pemegang otoritas utama dalam penyusunan dan pelaksanaan anggaran. Tanpa kepala daerah definitif, proses penyusunan dan alokasi anggaran cenderung menjadi lebih lambat dan tidak efisien, yang tentunya akan merugikan masyarakat itu sendiri.
Menurutnya, saatnyalah masyarakat Maros beranjak dari ketidakpastian dan mengambil langkah aktif dalam menentukan masa depan mereka.
“Untuk menciptakan perubahan yang diharapkan, diperlukan keberanian untuk menilai secara obyektif siapa yang memiliki komitmen dan solusi nyata, bukan hanya mengandalkan penilaian subyektif yang bisa menciptakan situasi ketidakpastian,” paparnya.
Terakhir, kata dia, terkait potensi adanya pengulangan Pilkada di Kabupaten Maros, menurutnya hanya akan membebani daerah dari sisi anggaran.
Pengulangan pilkada berarti adanya refocusing anggaran di APBD daerah lagi yang dapat menghambat keberlanjutan pembangunan dan pelayanan kepada masyarakat.
“Pilkada ulang tentunya akan membebani anggaran daerah dan mengalihkan sumber daya anggaran dari program prioritas yang bermanfaat langsung bagi masyarakat,” pungkasnya. (*)